Selasa, 16 Agustus 2011

belanda

Penduduk Islam Belanda adalah pelbagai. Salah satu kumpulan pertama yang menubuhkan sebuah tempat tetap di Belanda adalah orang-orang yang berasal dari Indonesia. Pada waktu itu, Indonesia adalah tanah jajahan Belanda dan orang-orang dari Indonesia dibenarkan untuk belajar di Belanda.
Pada dekad-dekad 1970-an dan 1980-an, Belanda memerlukan tenaga kerja yang lebih besar dan terpaksa mencarikannya di luar sempadan. Orang-orang dari Turki, Maghribi, Algeria, dan sebilangan negara Islam yang lain dibenarkan tinggal di Belanda secara sementara. Bagaimanapun, kebanyakan mereka tinggal secara tetap dan memulakan kehidupan yang baru di negara ini. Oleh itu, komuniti Islam di Belanda berkembang dengan ketara.
Sebuah tinjauan pendapat terkini oleh Motivaction/GPD yang melibatkan 1,200 orang dewasa Belanda (+/- 3%) mendapati bahawa pada bulan Mei 2006, 63% daripada warganegara Belanda berasa bahawa agama Islam adalah tidak secocok dengan kehidupan Eropah moden. [1]

Masjid Al-Hikmah di Heeswijkpein, Moerwijk kota Den Haag itu awalnya adalah gereja Immanuel. Dari luar, bangunan itu tidak mirip dengan masjid umumnya. Rumah panjang bertingkat dua, tanpa kubah. Suasana masjid baru terlihat ketika masuk ke dalam. Ada mihrab dan bentangan sajadah.

Sejarah Masjid Al Hikmah ini di mulai pada akhir 1995, di saat umat Islam Indonesia berupaya keras mengumpulkan dana untuk mendirikan masjid -- setelah musholah Al-Ittihad tidak dapat lagi menampung jamaah yang terus bertambah -- Probosutedjo, pengusaha Indonesia, membeli gereja tersebut dan mewakafkannya atas nama kakaknya RH Haris Sutjipto, yang wafat di Leiden, Desember 1995 setelah dirawat di kota itu. Masjid itu diserahterimakan Probo untuk umat Islam pada 1 Juli 1996.

Mengapa gereja? Untuk mendirikan bangunan baru di Belanda tidak mudah, sementara ketika itu banyak gereja yang tidak lagi difungsikan dan dijual kepada umum. Menurut Ahmad Nafan Sulchan, salah seorang pendiri PPME, masyarakat sekitar gereja lebih senang gereja itu dijadikan masjid daripada digunakan untuk kepentingan lain, diskotik misalnya.

Gereja Immanuel itu kini menjadi masjid. Lantai bawah digunakan untuk pengajian dan kegiatan remaja Islam. Lantai atas untuk shalat. Pada Ramadhan lalu, masjid Al-Hikmah dipenuhi warga Indonesia, yang diperkirakan lebih 5.000 orang.

Berdirinya Masjid Al-Hikmah memperpanjang deretan jumlah masjid di Belanda. Pada 1990 saja, jumlah masjid sudah mencapai 300 di seluruh Belanda. Ini meningkat jauh dari 1971, yang ketika itu hanya terdapat beberapa buah, di antaranya Masjid Mubarak yang didirikan kalangan Ahmadiyah (1953), dan Masjid Maluku An-Nur di Balk. Masjid Maluku itu didirikan eks anggota Koninklijk Nederlandse Indische Leger (KNIL). Pada 1951-1952 sekitar 12 ribu anggota KNIL beserta keluarganya dari Maluku dibawa ke Belanda. Sebagian mereka beragama Kristen, sebagian lainnya Islam. Saat ini diperkirakan terdapat lebih 50 ribu orang Maluku di Belanda.

Berdasarkan data statistik Central Bureau de Statistiek 1994, jumlah umat Islam dari 15.341.553 jumlah penduduk Belanda saat itu, menempati posisi ketiga (3,7 persen), setelah Katolik Roma (32 persen), dan Kristen Protestan (22 persen). Sebanyak 40 persen warga Belanda mengaku tidak beragama, dan sekitar 0,5 persen pemeluk Hindu. Pada 1971, jumlah umat Islam 54.300 jiwa, dan meningkat pesat pada 1993 menjadi 560.300 jiwa. Kenaikan rata-rata 0,6 persen setahun. Umat Islam itu berasal dari Turki (46 persen), Maroko (38,8 persen), Suriname (6,2 persen), Pakistan (2,2 persen), Mesir (0,7 persen), Tunisia (0,9 persen), Indonesia (1,6 persen), dan lainnya (3,9 persen). Bertambahnya jumlah umat Islam dari tahun ke tahun itu, diperkirakan berasal dari imigran dan sebagian lain mendapatkan hidayah, dan pernikahan.

Islam di Belanda awalnya diperkenalkan sekelompok mubaligh Ahmadiyah. Kelompok yang menamakan dirinya Holland Mission ini giat berdakwah melalui diskusi dan berbagai tulisan. Mereka juga menerjemahkan Alquran ke dalam bahasa Belanda.

Dalam In het Land van de Overheerser karya Harry A Poeze, seperti dikutip Muhammad Hisyam dalam buku PPME; Sekilas Sejarah dan Peranannya dalam Dakwah Islam di Nederland, orang Islam pertama yang datang ke Belanda justru adalah Abdus Samad, Duta Besar Kesultanan Aceh untuk Belanda, pada tahun 1602. Hanya saja, kedatangan Abdus Samad ketika itu tidak dalam misi dakwah, selain waktu kunjungan yang singkat.

Selain Ahmadiyah, Islam mulai berkembang melalui orang-orang Indonesia. Ketika Belanda menerapkan politik etis, orang-orang Indonesia yang sebagian besar beragama Islam, berdatangan ke Belanda. Pada 1930-an, mereka mendirikan Perkoempoelan Islam. Organisasi, yang didirikan seorang Belanda Van Beetem yang kemudian berganti nama menjadi Mohammad Ali, ini diakui pemerintah Belanda, dan merupakan organisasi Islam pertama.

Selanjutnya, pada 1951-1952, sekitar 12 ribu anggota KNIL yang sebagian besar berasal dari Maluku, sebanyak 200 di antaranya beragama Islam, datang ke Belanda. Mereka yang semula ditempatkan dalam satu kamp dengan non-Muslim, lalu memisahkan diri dan bergabung sesama Muslim di kamp Wijldemaerk, Desa Balk, Provinsi Friesland. Di sinilah mereka membangun Masjid An-Nur yang dipimpin Haji Ahmad Tan. Sebagian lain, yang pindah ke Riiderkerk, mendirikan Masjid Baiturrahman yang indah pada 1990. Masjid ini pendanaannya dibantu Pemerintah Belanda.
Muslim Indonesia

Seperti Muslim Maluku, Ahmadiyah, Maroko, Suriname, dan Tunisia -- yang mendirikan organisasi, tempat ibadah, dakwah, dan membina agama bagi kelompoknya -- Muslim Indonesia pun membentuk kelompok tersendiri. Selain Perkoempoelan Islam, juga berdiri Persatuan Pemuda Muslim se Eropa (PPME) pada 1971. PPME yang hingga kini tetap bertahan, didirikan oleh mahasiswa dan pemuda Indonesia di Belanda dan Timur Tengah. Menurut Ahmad Nafan Sulchan, para mahasiswa Indonesia dari Timur Tengah, termasuk Abdurrahman Wahid (Gus Dur) -- kini Presiden RI -- umumnya memilih Belanda dan Jerman sebagai tempat liburan. Melalui diskusi-diskusi intensif, para pemuda dan mahasiswa Indonesia di perantauan tersebut, akhirnya disepakati dibentuknya sebuah organisasi.

Pertemuan pertama diadakan pada musim dingin awal Januari 1971 di Den Haag. Hadir ketika itu dari Rotterdam yakni Gus Dur, T Razali, Moh Chaeron, A Hambali Maksum, Abdul Muiz Kaderi, Rais Mustafa, dan Moh Sayuti Suaib. Dari Den Haag hadir Ramhat Zitter, Amir Alhajri, dan Jus Muhtar; dari Jerman Abdul Wahid Kadungga, Ali Baba, dan A Donny.

Pada 12 April 1971, PPME resmi dibentuk. Ketua ketika itu dipilih Abdul Wahid Kadungga, sekteratis Hambali Maksum. Gus Dur ketika itu diunggulkan memimpin organisasi ini, namun ia menolak karena berencana pulang ke Indonesia. Ahmad Nafan Sulchan bercerita, jika ke Belanda Gus Dur selalu bertemu dengan para pengurus PPME, bahkan menginap di Mushola Al-Ittihad yang didirikan PPME.

Mushola Al-Ittihad yang terletak di Daguerrestr No 2 Den Haag itu, juga pernah dikunjungi tokoh-tokoh Indonesia, antara lain Jenderal Purn AH Nasution, Ruslan Abdul Gani, Munawir Sadjzali, Nurcholis Madjid, WS Rendra, Emha Ainun Nadjib, dan Taufik Abdullah.

Setelah PPME terbentuk di Belanda, dua tahun kemudian di Jerman dibentuk pula PPME. Pernyataan berdirinya PPME pada 19 Januari 1973 itu antara lain ditandatangani oleh Akias AM, Romdhon Bernama Kusumah, AM Saefuddin, Saiful Rangkuti, Hasbi Tirtapraja, Sofyan Sadeli, Suparwata Rasyid, Titie Bernama Kusumah, Syamsuddin, Masykur Abdullah. Ketua umum dijabat Rasjid Soeparwata, seketaris umum Sofyan Sadeli. Sedangkan AM Saefuddin, mantan Menpangan, sebagai penasehat.

Dengan berdirinya PPME Jerman, status PPME Belanda akhirnya dinaikkan menjadi Dewan Pimpinan Pusat PPME, sedangkan Jerman menjadi Dewan Perwakilan Wilayah. Juga dibentuk DPW lain, yakni DPW Holland dengan cabang antara lain Amsterdam, Den Haag, Rotterdam, dan Delf. Di Jerman, dibentuk cabang Dortmund, Frankfurt, Darmstadt, Offenbach, Giessen, dan Berlin.

Dalam perjalanannya, PPME yang menyadari posisi umat Islam minoritas, menjalin kerjasama organisasi-organisasi Islam internasional. Kontak-kontak kerjasama antara lain dilakukan dengan Mu'tamar al-'Alam al Islami di Pakistan, Muslim Word League di Makkah, Rabithah al-'Alam al-Islami di Makkah, dan World Assembly of Muslim Youth (WAMY) di Riyad. Hubungan dengan lembaga-lembaga tersebut antara lain soal buku-buku dan informasi. PPME adalah anggota tetap WAMY.

Hubungan kerjasama juga dilakukan dengan organisasi-organisasi Islam di Belanda dan Jerman, antara lain dengan organisasi Islam Turki, Maroko, Tunisia, dan Suriname. Di Belanda, juga berdiri Nederlandse Islamitische Parlement (NIP), organisasi yang bergerak dalam bidang penggalangan dan penyatuan organisasi-organisasi Islam di Belanda. Selain itu ada pula Federasi Organisatie Muslim Nederland. Federasi ini berfungsi mewakili kepentingan umat Islam dalam hubungannya dengan Pemerintah Belanda. Hubungan PPME dengan organisasi-organisasi itu antara lain menyangkut tukar menukar informasi.

Dalam skala besar, PPME menjalin hubungan dengan Rabithah Alam Islami, Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII), dan Stichting Der Islamitische Gemeenten in Suriname (SIS), dalam mengirim dai-dai ke Suriname. Melalui PPME pula, sejumlah alumni Timur Tengah berhasil direkrut sebagai guru agama di Suriname.

Selain itu, PPME juga ikut memprakarsai berdirinya Federatie Organisaties Muslim Nederland, yang diketuai tokoh Muslim Belanda Abdul Wahid van Bommel. Organisasi ini kemudian bubar dan diganti Islamitische Informatie Centrum.

Untuk internal, PPME pun giat mendorong remaja Muslim belajar Islam. Menurut Chaeron, mantan ketua PPME periode 1976-1979, pada setiap libur para remaja Islam dari Amsterdam, Den Haag maupun Rotterdam melaksanakan flits school atau pesantren kilat. "Kita perlu terus menerus memberikan pengajaran agama kepada mereka," ujar mantan wartawan Harian Abadi ini.

Dalam kegiatan dakwah dan sosial, PPME antara lain melakukan pengislaman, mengorganisasi perjalanan haji/umroh, pernikahan, dan memelihara solidaritas kekeluargaan. Dalam pengislaman, menurut laporan kerja kepengurusan periode pertama (71-73), PPME mengislamkan 21 orang (enam lelaki, 15 perempuan). Tahun 1984-1986 sebanyak sembilan orang yang terdiri diri dari orang Indonesia, Belanda, dan Inggris. Periode berikutnya sebanyak enam keluarga atau 33 orang. Jumlah seluruhnya tidak ada data resmi.

PPME juga memanfaatkan media elektronik dalam berdakwah. Melalui Kepala Seksi Siaran Bahasa Indonesia di Radio Hilversum, Ny Ardamari Sudji, pada 1970-an PPME diberikan kesempatan untuk mengisi siaran khusus Mimbar Jumat di radio tersebut. Namun sejak Januari 1994, acara itu ditiadakan lagi karena munculnya peraturan dari Pemerintah Belanda menghapuskan acara-acara yang tidak diprioritaskan atas pertimbangan keuangan.

PPME telah berbuat banyak. Masjid Al-Hikmah, yang semula adalah bangunan gereja, pun berdiri kokoh.

  12.000 warga belanda sudah masuk islam
Lebih dari 500 orang menghadiri konferensi tahunan "hari kembali Belanda" ke-3 yang diadakan di masjid besar Omar Al Farouk di kota Utreceht pada hari Ahad malam lalu (31/1).  Acara ini diselenggarakan oleh yayasan OntdekIslam dan Platform Nasional Belanda untuk Muslim baru (LPNM).
Waleed Duisters, ketua LPNM kepada Kuwait News Agency (Kuna) menyatakan bahwa angka yang dikeluarkan pada tahun 2007 menunjukkan ada 12.000 orang Belanda yang memeluk agama Islam, dan menambahkan bahwa mungkin masih banyak lagi.
Dia menjelaskan bahwa sangat sulit untuk memberikan angka yang tepat dari orang Belanda yang memeluk agama Islam karena di Belanda tidak ada pendaftaran orang yang berdasarkan agama. "Kami mempunyai banyak anggota yang merupakan warga Belanda yang memeluk agama Islam, sehingga tujuan konferensi ini adalah mencoba membantu mereka untuk menemukan jalan terbaik di dalam masyarakat Islam khususnya dan masyarakat Belanda secara umum," kata Dusiters yang dirinya telah masuk Islam sepuluh tahun yang lalu.
Dia mencatat bahwa kadang-kadang menjadi mualaf baru akan menghadapi banyak masalah dengan keluarga mereka dan masyarakat Islam Belanda tidak tahu bagaimana menangani para mualaf baru tersebut.
"Dalam masyarakat Belanda ada orang-orang yang skeptis terhadap Islam dan kadang-kadang kita punya kasus para mualaf baru banyak yang menghadapi masalah besar dengan keluarga mereka. Kami ingin membantu mereka untuk menjalani hidup tanpa masalah," kata Duisters.
Pertemuan besar warga Belanda yang masuk Islam dengan umat Islam dari Turki, dunia Arab dan Suriname, di isi dengan mendengarkan ceramah oleh pembicara internasional yang terkenal seperti Hussein Ye dari Malaysia dan Pierre Vogel dari Jerman - dikombinasikan dengan pembicara anak-anak muda Belanda yaitu Ali al Khattab dan Elsa van de Loo yang juga merupakan perwakilan pemuda Belanda untuk Perserikatan Bangsa-Bangsa.
Tujuh warga Belanda termasuk tiga wanita masuk Islam selama konferensi berlangsung pada hari Ahad lalu (31/1).
Duisters berkata: "Islam memperkaya hidup saya. Sekarang saya punya kehidupan yang stabil. Saya tahu apa yang harus saya ajarkan kepada anak-anak saya untuk menjadi Muslim yang baik tetapi juga menjadi warga negara Belanda yang baik."
Dia mencatat bahwa jumlah umat Islam di Eropa tumbuh dengan pesat. Banyak orang yang masuk Islam karena mereka banyak mendengar tentang Islam sehingga mereka ingin tahu tentang Islam dan mulai membaca Quran dan Hadits.
Tapi ia juga menyalahkan umat Islam, karena tidak melakukan penjelasan yang cukup untuk menjelaskan Islam.
"Kaum Muslimin di Belanda punya banyak kesempatan untuk memberikan gambaran yang baik tentang Islam tetapi sebagian besar waktu mereka gagal," keluhnya.
"Ada juga masalah lain yaitu umat Muslim yang tidak bisa terintegrasi ke dalam masyarakat Belanda," katanya.
"Kita harus hidup sebagai Muslim di Belanda tetapi juga bagian dari masyarakat Belanda. Kita jangan menjadi kelompok yang aneh. Kami menyarankan umat Islam untuk terlibat dalam kehidupan masyarakat Belanda," katanya.
Marck Reuvers, yang bertanggung jawab terhadap media pada konferensi tersebut dan dirinya sendiri seorang jurnalis, mengatakan kepada Kuna bahwa "ini adalah hari yang sangat istimewa. Hal inilah yang disebut mengubah hari di Belanda."
"Tujuan dari pertemuan ini adalah untuk menunjukkan bahwa warga Belanda yang memeluk agama Islam juga merupakan bagian dari umat yang lebih besar," kata Reuvers yang masuk Islam pada tahun 2007. "
Saya sedang mencari sesuatu yang membuat hidup saya lebih bermakna. Setelah menjadi seorang Muslim saya memiliki tujuan dalam hidup. Saya merasa sangat bahagia dan nyaman, "katanya.
Abdel Karim masuk Islam pada tahun 2008 dan saat ini dirinya sedang mempersiapkan diri untuk menjadi seorang pekerja sosial.
"Saya butuh Tuhan dalam hidupku. Saya suka cerita tentang nabi Ibrahim, Musa, Yesus, tapi saya tidak menyukai foto di dalam Gereja dengan Tuhan berkulit putih," katanya.
"Tapi saya sangat mengasihi Yesus dan saya juga sangat mencintai Musa dan saya menyayangi mereka dalam Islam. Aturan dalam Islam jauh lebih murni. Tidak ada rasisme dalam Islam," kata anak muda muslim Belanda berjenggot ini kepada kuna.
Dia mengatakan orang harus melakukan memberikan banyak penjelasan kepada masyarakat Belanda setelah mereka masuk Islam. "Anda berhenti minum minuman keras, Anda berhenti merokok, Anda berhenti berbicara berghibah. Jadi orang-orang di sekitar anda akan bertanya mengapa Anda tidak minum, kenapa Anda memiliki jenggot", katanya.
Van der Putten Malleen juga seorang jurnalis yang bekerja untuk sebuah siaran Islam Belanda memiliki cerita yang unik dari masuk Islam dirinya. Dia masuk Islam enam tahun lalu. Van der Putten mengatakan "suatu hari ia berkata beberapa hal buruk untuk seorang Muslim. Kemudian dia berkata pada dirinya sendiri mengapa saya berkata hal-hal buruk tentang Islam sedangkan saya tidak tahu apa-apa tentang Islam."
Dia akhirnya pergi ke sebuah toko dan membeli beberapa buku Islam, membaca dan membaca sehingga kemudian secara bertahap ia masuk Islam.
Dia mengatakan umat Islam seharusnya berbicara dengan banyak orang, berbicara dengan tetangga untuk menjelaskan Islam yang benar dan harus ada lebih banyak interaksi dengan orang lain.
Elsa van de Loo, wakil pemuda dari Belanda di Perserikatan Bangsa-Bangsa, mengatakan kepada Kuna bahwa dia masuk Islam satu setengah tahun yang lalu.
Ayahnya dari Belanda dan ibunya dari Republik Dominika.
"Saya dibesarkan sebagai seorang Katolik namun tidak mempraktikkan agama kristen," katanya.
Namun kemudian saya mulai membaca Quran dalam bahasa Belanda.
"Pada awalnya sulit bagi saya untuk memahami dan saya tidak tahu banyak umat Islam yang akan menjelaskan kepada saya. Kemudian pada suatu hari saya bertemu dengan seorang gadis Muslim asal Maroko yang mulai menjelaskan Al-Quran dan Islam," katanya.
"Banyak hal yang sedang saya cari jawabannya, saya temukan hal itu dalam Islam.
Saya merasa sangat baik .. Islam memberi saya kedamaian. Di masa lalu saya selalu gelisah saya tidak tahu Apa yang harus saya lakukan dalam hidup. kemana saya akan pergi. Sekarang saya punya jawabannya, "katanya kepada kuna.
Dia mengatakan dia tidak pernah menghadapi masalah dengan pemerintah Belanda karena memakai Hijab tetapi beberapa kritikus mengatakan bagaimana dirinya bisa mewakili Belanda di PBB dengan mengenakan Hijab.
"Saya memberitahu mereka bahwa pekerjaan saya terpisah dari agama saya. Ketika saya dalam pekerjaan saya, saya mewakili semua orang di Belanda ," kata Elsa van de Loo.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar