Kamis, 01 Desember 2011

Abdullahi Yusuf Ahmed

Abdullahi Yusuf Ahmed (bahasa Somali: Cabdulaahi Yuusuf Axmed) (lahir di Galkacyo, Mudug, 15 Desember 1934; umur 76 tahun) adalah Presiden Transisi Somalia sejak 14 Oktober 2004 hingga 29 Desember 2008. Ia terpilih pada sebuah sesi dalam sidang parlemen sementara di sebuah gedung di Nairobi, ibukota Kenya pada 10 Oktober 2004 dan diambil sumpahnya pada 14 Oktober 2004.
Sejak pemilihannya itu, ia tinggal di Kenya. Pemilihan dilakukan di Kenya karena keamanan di Somalia sangat tidak terjamin. Presiden berjanji untuk menciptakan rekonsiliasi dan memulai proses pembangunan kembali negaranya. Namun pemerintahannya telah dilanda oleh pertikaian internal.
Khususnya Yusuf berbeda pendapat dengan sejumlah jawara perang dan anggota pemerintahan tentang di mana pemerintahannya harus dipusatkan. Presiden dan perdana menteri menentang pemindahan ibukota ke Mogadishu, sambil menyebutkan alasan-alasan keamanan. Pada 14 Juli 2006, pemerintah sementara yang nyaris tak berdaya menolak mengirimkan juru runding dan berbicara dengan kelompok aliansi Islam yang telah mengambil alih kontrol atas hampir seluruh wilayah selatan Somalia. Pemerintah menuduh aliansi itu melalukan pembunuhan warga sipil dalam pertempuran dan didukung pihak asing.
Pertikaian lainnya menyangkut kemungkinan pembentukan pasukan asing pemelihara perdamaian - khususnya dengan mengikutsertakan pasukan-pasukan Ethiopia. Ethiopia telah dituduh mendukung para jawara perang Somali lawannya untuk tetap membuat negara itu lemah.
Yusuf yang pernah menjadi perwira tentara dan pemimpin faksi, pernah memimpin sebuah gerakan gerilya pada tahun 1970-an. Diktator Somali Siad Barre kemudian dijatuhkan pada tahun 1991.
Pada era 1990-an, Yusuf muncul pemimpin terkemuka di daerah Puntland tempat kelahirannya. Ia menyatakan daerah itu otonom pada 1998. Konon kepemimpinannya bersifat otoriter. Namun demikian ia ikut memindahkan Badan-badan Federal Transisi bersama-sama dengan perdana menterinya, Ali Mohammed Ghedi dan Ketua Parlemen Sharif Adan dari Nairobi ke kota Mogadishu dan Jowhar.
Kepada parlemen, ia menjelaskan bahwa Eritrea (negara tetangga Somalia) telah mempersenjatai dan melatih aliansi Islam. Dikatakan, para pejuang aliansi juga berhasil merebut wilayah terbesar di selatan Somalia dengan bantuan pasukan asing. Pembicaraan yang disponsori Liga Arab dirancang untuk dilanjutkan di Khartoum (ibukota Sudan) pada 15 Juli 2006. Tujuannya untuk mengembalikan fungsi pemerintah pusat yang sudah terkoyak. Pada 7 Agustus 2006, ia membubarkan kabinet yang dianggap tidak efektif.

Abdullahi Yusuf Ahmed
Abdullahi Yusuf Ahmed

Masa jabatan
14 Oktober 200429 Desember 2008
Perdana Menteri Muhammad Abdi Yusuf
Ali Muhammad Ghedi
Salim Aliyow Ibrow
Nur Hassan Hussein
Mohamoud Mohamed Gacmodhere (Tidak diakui)
Pendahulu Abdiqasim Salad Hassan
Pengganti Adan Mohamed Nuur Madobe (Pjs)

Lahir 15 Desember 1934 (umur 76)
Galkacyo, Mudug, Somalia
Kebangsaan  Somalia
Partai politik TFG
Agama Islam

Usamah bin Ladin

Usamah bin Muhammad bin Awwad bin Ladin (bahasa Arab: أسامة بن محمد بن عود بن لادن; sering dipanggil Usamah bin Ladin (atau Osama bin Laden dalam ejaan Inggris) alias Tim Osman, (lahir di Jeddah, Arab Saudi, 10 Maret 1957 – meninggal di Abbottãbad, Pakistan, 2 Mei 2011 pada umur 54 tahun) adalah pendiri Al Qaeda.
Dilahirkan di Jeddah, Arab Saudi, kawasan pantai Laut Merah. Usamah adalah anak ke-17 dari 52 bersaudara. Ayahandanya yang bernama Muhammad bin Ladin, adalah seorang petani miskin dari Yaman yang kemudian bermigrasi ke Arab Saudi setelah Perang Dunia II). Di tempat yang baru ini Muhammad bin Ladin memulai dengan usahanya yang baru bergerak dalam bidang bisnis pembangunan. Pada akhirnya ia memenangkan banyak kontrak bagi pembangunan masjid-masjid dan istana-istana yang sangat bernilai dari pemerintah Arab Saudi. Oleh karena itu ia telah mengembangkan tali persahabatan yang sangat akrab dengan keluarga Kerajaan Saudi[1]. Muhammad bin Ladin kemudian telah menjadi salah seorang yang paling kaya di Arab Saudi, yang diperkirakan memiliki keuntungan miliaran dolar Amerika Serikat. Dari keuntungannya ini diperkirakan Muhammad bin Ladin memiliki saham sebesar hampir 300 miliar dolar Amerika.

Ketika berusia pemuda-remaja, Usamah bin Ladin telah bergabung dengan gerakan Konservatif-Baru (Ultrakonservatif), sebuah gerakan politik dalam agama Islam yang sebagian mengadopsi sebagiannya pemahaman Sufi; dan ia pernah masuk kedalam dinas kepolisian yang menegakkan hukum-hukum syariah. Usamah menjadi mahasiswa pada Universitas King Abdul Aziz di Jeddah, di mana ia berguru pada salah satu dari antara gurunya, yakni Sheikh Abdullah Azzam. Guru Abdullah Azzam inilah yang kemudian diketahui sebagai tokoh utama yang memainkan peran memobilisasi dukungan bangsa Arab bagi kaum Mujahidin yang berperang melawan pendudukan Uni Soviet atas Afganistan. Usamah bin Ladin lulus menyelesaikan studinya dan diwisuda sarjana tahun 1979 dalam bidang Ekonomi dan Manajemen.

Perjalanan hidup

Usamah bin Ladin mulai membangun jaringan komunikasinya pada tahun 1979 ketika ia berangkat ke Afganistan bergabung dalam milisi perang kaum pejuang Afgan yang dikenal sebagai kaum mujahidin yang tetap bertahan dan bertempur melawan Soviet[2] . Usamah menggalang dana melalui jalur-jalur kekayaan dan relasi-relasi koneksi keluarganya bagi gerakan pertahanan Afgan, dan membantu kaum Mujahidin dengan bantuan logistik dan bantuan kemanusiaan. Usamah juga terlibat mengambil bagian dalam beberapa pertempuran selama perang Afganistan.
Ketika peperangan melawan Soviet hampir berakhir, Usamah mendirikan gerakan Al Qaeda, sebuah organisasi para mantan/eks pejuang Mujahidin dan para pendukung lainnya yang membantu menyalurkan baik dana maupun para pejuang bagi gerakan pertahanan Afgan.
Ketika tentara-tentara Soviet menarik mundur keluar dari Afganistan, Usamah bin Ladin pulang kembali ke Arab Saudi dan bergabung bekerja pada perusahaan konstruksi dan bangunan milik keluarga, Group Perusahaan Bin Ladin. Di sini ia kemudian terlibat bersama kelompok orang-orang Saudi yang berseberangan dan melawan pemerintahan kerajaan/monarki Saudi, yakni terhadap Keluarga Raja Fahd. Pada tahun 1995 Usamah bin Ladin membangun infrasruktur di Sudan ketika hubungannya dengan Presiden Umar al-Bashir dan Dr. Hasan Turabi yang memerintah Sudan.
Pada tahun 1994, Pemerintah Saudi mencabut hak kewarganegaraan Usamah dan membekukan seluruh aset dan kekayaannya di seluruh negeri. Usamah bin Ladin diyakini berbagai pihak sebagai tokoh pusat dan kunci dari suatu koalisi internasional dari kaum radikal Islam. Menurut Pemerintah Amerika Serikat, Al Qaeda telah meniru gerakan-gerakan aliansi dengan pola pikir kelompok-kelompok fundamentalis, seperti misalnya kelompok Al-Jihad di Mesir, Gerakan Hizbullah di Iran, Front Islam Nasional di Sudan, dan kelompok-kelompok jihad lainnya di Yaman, Arab Saudi, dan Somalia. Organisasi Usamah bin Ladin juga memiliki ikatan-ikatan dengan "Kelompok Islam" yang pada suatu ketika dibawah pimpinan Syaikh Omar Abdel Rahman, seorang ulama Mesir yang menjalani hukuman seumur hidup sejak pengakuannya pada tahun 1995 menggagalkan persekongkolan peledakan beberapa tempat di kawasan kota New York. Pada akhir tahun 1990-an dua orang anak Sheik Rahman bergabung bersama kekuatan tentara dan perjuangan Usamah bin Ladin.
Sejak tahun 1992, Pemerintah Amerika Serikat memberi kesan bahwa Usamah bin Ladin dan anggota-anggota lainnya dari gerakan Al Qaeda menjadi target sasaran militer Amerika yang bertugas di Arab Saudi, dan di Yaman, dan satuan militer yang ditugaskan di Tanduk Afrika, termasuk di Somalia. Pada bulan Oktober 1993, diberitakan ada 18 orang anggota militer berkebangsaan Amerika Serikat yang bekerja untuk bantuan kemanusiaan dan penanggulangan penderitaan di Somalia, mati dibunuh disana ketika menjalankan karya sosial mereka. Mayat tentara pekerja sosial itu diseret dan dianiaya di sepanjang jalan-jalan raya. Pada tahun 1996 Usamah bin Ladin dikenai hukuman atas tuduhan melatih orang-orang yang terlibat dalam penyerangan pembunuhan tentara pekerja sosial di atas dan ia mengatakan bahwa para pengikutnya bersama kaum Muslim setempat telah membunuh tentara-tentara itu. Penegak hukum Amerika Serikat juga menuduh bahwa Usamah bin Ladin memiliki jaringan dengan serangan-serangan yang gagal ke atas dua hotel di Yaman di mana para tentara Amerika Serikat bermalam dalam perjalanan mereka ke Somalia.
Pada tanggal 7 Agustus 1998, delapan tahun setelah penugasan operasional militer, Amerika Serikat membuat sebuah jebakan di Arab Saudi dengan meledakkan dua truk bermuatan bom di luar Kedutaan Besar Amerika Serikat di Nairobi dan membuat alur cerita se akan akan otak peledakan adalah usamah bin ladin, Kenya; dan di Dares Salaam, Tanzania. Usamah bin Ladin menolak bertanggungjawab, tetapi para Hakim menegaskan keterlibatan dan kesalahannya itu terbukti dengan adanya surat-surat faksimili yang dikirimkan oleh kelompok Sel Usamah di London setidaknya kepada tiga agen penjualan media internasional. Para Hakim juga menunjukkan pengakuan para pelaku tindak kriminal tertuduh pelaku pengeboman Kedutaan-Kedutaan Besar, yang mengaku mereka adalah anggota gerakan Al Qaeda.
Empat belas hari kemudian, pada tanggal 20 Agustus 1998, Presiden Bill Clinton memerintahkan armada kapal perang Amerika Serikat menggempur kamp-kamp di Afganistan yang menjadi target untuk melumpuhkan usamah binladin dengan memberikan cap sebagai sarang pelatihan teroris, dan penggempuran terhadap pabrik reaktor kimia di kota Khartoum, Sudan. Usamah bin Ladin bisa selamat dari serangan itu dan dijatuhi hukuman oleh Amerika Serikat dengan tuduhan sebagai perancang atau otak di balik serangan-serangan bulan November 1998.
Banyak pengamat Islam Internasional mengatakan bahwa perlawanan Usamah bin Ladin dan Al Qaeda-nya akan tetap berlanjut selama dunia barat khususnya Amerika Serikat tidak mengubah kebijakan yang dianggap tidak adil terhadap negara-negara dunia Islam. Kasus Palestina dan keberpihakannya terhadap Israel diantaranya, serta serangan dan pendudukan terhadap Irak membuat masalah yang dikatakan dunia Barat sebagai terorisme tidak akan selesai.

Pada 2 Mei 2011 Usamah bin Ladin tewas dalam serangan yang dilakukan oleh militer Amerika Serikat di Abbottãbad, Pakistan, tempat persembunyiannya selama ini.[3] Kemudian 2 Mei 2011 Pasukan Amerika Serikat melakukan tes DNA untuk memastikan kematian Usamah.[4]
Muncul juga teori konspirasi yang menyatakan bahwa bin Ladin sebenarnya sudah mati pada Desember 2001, dan klaim pembunuhan pada 2011 merupakan bagian dari kampanye Barack Obama untuk pemilu mendatang.[5]

Abu Dzar Al-Ghifari

Abu Dzar berasal dari suku Ghifar (dikenal sebagai penyamun pada masa sebelum datangnya Islam). Ia memeluk Islam dengan sukarela, ia salah satu sahabat yang terdahulu dalam memeluk Islam. Ia mendatangi Nabi Muhammad langsung ke Mekkah untuk menyatakan keislamannya.
Setelah menyatakan keislamannya, ia berkeliling Mekkah untuk meneriakkan bahwa ia seorang Muslim, hingga ia dipukuli oleh suku Quraisy. Atas bantuan dari Abbas bin Abdul Muthalib, ia dibebaskan dari suku Quraisy, setalah suku Quraisy mengetahui bahwa orang yang dipukuli berasal dari suku Ghifar. Ia mengikuti hampir seluruh pertempuran-pertempuran selama Nabi Muhammad hidup.
Orang-orang yang masuk Islam melalui dia, adalah : Ali-al-Ghifari, Anis al-Ghifari, Ramlah al-Ghifariyah.
Dia dikenal sangat setia kepada Rasulullah. Kesetiaan itu misalnya dibuktikan sosok sederhana ini dalam satu perjalanan pasukan Muslim menuju medan Perang Tabuk melawan kekaisaran Bizantium. Karena keledainya lemah, ia rela berjalan kaki seraya memikul bawaannya. Saat itu sedang terjadi puncak musim panas yang sangat menyayat.
Dia keletihan dan roboh di hadapan Nabi SAW. Namun Rasulullah heran kantong airnya masih penuh. Setelah ditanya mengapa dia tidak minum airnya, tokoh yang juga kerap mengkritik penguasa semena-mena ini mengatakan, "Di perjalanan saya temukan mata air.
Saya minum air itu sedikit dan saya merasakan nikmat. Setelah itu, saya bersumpah tak akan minum air itu lagi sebelum Nabi SAW meminumnya." Dengan rasa haru, Rasulullah berujar, "Engkau datang sendirian, engkau hidup sendirian, dan engkau akan meninggal dalam kesendirian. Tapi serombongan orang dari Irak yang saleh kelak akan mengurus pemakamanmu." Abu Dzar Al Ghifary, sahabat setia Rasulullah itu, mengabdikan sepanjang hidupnya untuk Islam.

 Sebelum Masuk Islam

Tidak diketahui pasti kapan Abizar lahir. Sejarah hanya mencatat, ia lahir dan tinggal dekat jalur kafilah Mekkah, Syria. Riwayat hitam masa lalu Abizar tak lepas dari keberadaan keluarganya.
Abizar yang dibesarkan di tengah-tengah keluarga perampok besar Al Ghiffar saat itu, menjadikan aksi kekerasan dan teror untuk mencapai tujuan sebagai profesi keseharian. Itu sebabnya, Abizar yang semula bernama Jundab, juga dikenal sebagai perampok besar yang sering melakukan aksi teror di negeri-negeri di sekitarnya.
Kendati demikian, Jundab pada dasarnya berhati baik. Kerusakan dan derita korban yang disebabkan oleh aksinya kemudian menjadi titik balik dalam perjalanan hidupnya: Insyaf dan berhenti dari aksi jahatnya tersebut. Bahkan tak saja ia menyesali segala perbuatan jahatnya itu, tapi juga mengajak rekan-rekannya mengikuti jejaknya. Tindakannya itu menimbulkan amarah besar sukunya, yang memaksa Jundab meninggalkan tanah kelahirannya.
Bersama ibu dan saudara lelakinya, Anis Al Ghifar, Abizar hijrah ke Nejed Atas, Arab Saudi. Ini merupakan hijrah pertama Abizar dalam mencari kebenaran. Di Nejed Atas, Abizar tak lama tinggal. Sekalipun banyak ide-idenya dianggap revolusioner sehingga tak jarang mendapat tentangan dari masyarakat setempat.

 Masuk Islam

Mendengar datangnya agama Islam, Abizar pun berpikir tentang agama baru ini. Saat itu, ajaran Nabi Muhammad ini telah mulai mengguncangkan kota Mekkah dan membangkitkan gelombang kemarahan di seluruh Jazirah Arab. Abizar yang telah lama merindukan kebenaran, langsung tertarik kepada Rasulullah, dan ingin bertemu dengan Nabi SAW. Ia pergi ke Mekkah, dan sekali-sekali mengunjungi Ka'bah. Sebulan lebih lamanya ia mempelajari dengan seksama perbuatan dan ajaran Nabi. Waktu itu masyarakat kota Mekkah dalam suasana saling bermusuhan.
Demikian halnya dengan Ka'bah yang masih dipenuhi berhala dan sering dikunjungi para penyembah berhala dari suku Quraisy, sehingga menjadi tempat pertemuan yang populer. Nabi juga datang ke sana untuk salat.
Seperti yang diharapkan sejak lama, Abizar berkesempatan bertemu dengan Nabi. Dan pada saat itulah ia memeluk agama Islam, dan kemudian menjadi salah seorang pejuang paling gigih dan berani.
Bahkan sebelum masuk Islam, ia sudah mulai menentang pemujaan berhala. Dia berkata: "Saya sudah terbiasa bersembahyang sejak tiga tahun sebelum mendapat kehormatan melihat Nabi Besar Islam." Sejak saat itu, Abizar membaktikan dirinya kepada agama Islam.

 Kisah masuk Islamnya Abu Dzar

Diceritakan oleh (Abu Jamra): Ibn Abbas r.a berkata pada kami: Maukah kalian aku ceritakan kisah tentang masuk Islamnya Abu Dzar? Kami menjawab: "Ya"
Abu Dzar berkata, "Aku adalah seorang pria dari kabilah Ghifar, Kami mendengar bahwa ada seseorang mengaku nabi di Mekkah. Aku bilang pada seorang saudaraku,
'Pergilah temui orang itu, bicaralah dengannya lalu kabarkanlah beritanya padaku'. Dia pergi menjumpainya dan kembali. Aku bertanya padanya, 'Ada kabar apa yang kau bawa?', Dia berkata,
'Demi Allah, aku melihat seorang pria mengajak pada hal-hal yang baik dan melarang hal-hal yang buruk', Aku berkata padanya, 'Kamu tidak memuaskan keingin-tahuanku dengan keterangan yang hanya sedikit itu' .
Aku mengambil kantung air dan tongkat lalu pergi menuju Mekkah. Aku tak tahu siapa dan seperti apa nabi itu, dan akupun tak mau menanyakan hal itu pada siapapun. Aku terus minum air zam-zam dan terus berdiam diri di sekitar Ka'bah. Lalu Ali lewat didepanku, dia bertanya, 'Sepertinya anda orang asing disini? 'Aku jawab 'Ya'.
Dia mengajakku kerumahnya, aku lalu mengikutinya. Dia tidak menanyakan apapun padaku, Akupun tidak mengatakan apa-apa padanya.
Besok paginya aku pergi lagi ke Ka'bah untuk menanyakan sang nabi pada orang-orang disana, tapi tak seorangpun mengatakan sesuatu tentangnya. Ali kembali lewat dihadapanku dan bertanya,
'Adakah seseorang yang belum juga menemukan tempat tinggalnya?', Aku bilang,'Tidak'. Dia berkata,
'Kemari mendekatlah padaku'. Dia bertanya,
'Anda punya urusan apa disini? Apa yang membuat anda datang ke kota ini?'. Aku bilang padanya,
'Jika kamu bisa menjaga rahasiaku, maka aku akan mengatakannya ', Dia menjawab,
'Akan aku lakukan'. Aku berkata padanya,
'Kami mendengar bahwa ada seseorang di kota ini mengaku sebagai seorang nabi...aku mengutus seorang saudaraku untuk bicara dengannya dan waktu dia kembali, dia membawa kabar yang tidak memuaskan. Jadi aku berpikir untuk bertemu dengannya secara langsung'. Ali berkata,
'Tercapailah sudah tujuanmu, Aku mau menemui dia sekarang, jadi ikutlah denganku dan kemanapun aku masuk, masuklah setelahku. Jika aku menjumpai seseorang yang mungkin akan menyusahkanmu, aku akan berdiri didekat tembok berpura-pura memperbaiki sepatuku (sebagai tanda peringatan) dan anda harus segera pergi'.
Kemudian Ali berjalan dan aku mengikutinya sampai dia masuk ke suatu tempat dan aku masuk dengannya menemui sang nabi yang padanya aku berkata,
'Terangkanlah hakekat Islam itu padaku'. Waktu dia menjelaskannya, aku langsung menyatakan masuk Islam seketika itu juga.
Nabi bersabda,'Wahai Abu Dzar, simpanlah perkataanmu itu sebagai rahasiamu dan kembalilah ke daerah asalmu dan apabila kamu mendengar kabar kemenangan kami, kembalilah temuilah kami'. Aku berkata,
'Demi Dia Yang telah mengutus engkau dalam kebenaran, aku akan mengumumkan ke-Islamanku secara terang-terangan dihadapan mereka (kaum musyrikin)'. Abu Dzar pergi ke Ka'bah dimana banyak orang-orang Quraish berkumpul, lalu berseru,
'Hey, Kalian orang-orang Quraish! Aku bersaksi (Ashadu a lâ ilâha ill-Allah wa ashadu anna Muhammadan abduhu wa rasuluhu) Tiada Tuhan selain Allah dan aku bersaksi Muhammad itu hamba dan rasul Allah!'. (Mendengar hal itu) Orang-orang Quraish itu berteriak,
'Tangkap Sâbi itu (Muslim itu)! Mereka bangkit lalu memukuliku sampai hampir mati. Al Abbas melihatku lalu menabrakkan badannya ke badanku untuk melindungiku. Lalu dia menghadapi mereka dan berkata,
'Ada apa dengan kalian ini! Apakah kalian mau membunuh seorang dari kabilah Ghifar?, padahal selama ini kalian berdagang dan berkomunikasi melewati daerah kekuasaan mereka?!'. Mereka lalu meninggalkanku...
Besok paginya aku kembali ke Ka'bah dan berseru sama persis seperti yang aku lakukan kemarin, mereka kembali berteriak,
'Tangkap Sâbi itu (Muslim itu)!'. Lalu aku dipukuli (sampai hampir mati) sama seperti kemarin, dan kembali Al Abbas menemukan diriku dan menabrakkan badannya ke badanku untuk melindungiku, dan dia berkata pada mereka sama seperti yang dia lakukan kemarin.
Begitulah kisah tentang masuk Islamnya Abu Dzar r.a (4:725-OB)

 Menjadi Sahabat Nabi

Mendapat kepercayaan Nabi SAW, Abizar ditugaskan mengajarkan Islam di kalangan sukunya. Meskipun tak sedikit rintangan yang dihadapinya, misi Abizar tergolong sukses. Bukan hanya ibu dan saudara-saudaranya, hampir seluruh sukunya yang suka merampok berhasil diislamkan. Itu pula yang mencatatkan dirinya sebagai salah seorang penyiar Islam fase pertama dan terkemuka.
Rasulullah sendiri sangat menghargainya. Ketika dia meninggalkan Madinah untuk terjun dalam "Perang pakaian compang-camping", dia diangkat sebagai imam dan administrator kota itu. Saat akan meninggal dunia, Nabi memanggil Abizar. Sambil memeluknya, Rasulullah berkata: "Abizar akan tetap sama sepanjang hidupnya." Ucapan Nabi ternyata benar, Abizar tetap dalam kesederhanaan dan sangat saleh. Seumur hidupnya ia mencela sikap hidup kaum kapitalis, terutama pada masa khalifah ketiga, Usman bin Affan, ketika kaum Quraisy hidup dalam gelimangan harta.
Bagi Abizar, masalah prinsip adalah masalah yang tak bisa ditawar-tawar. Itu sebabnya, hartawan yang dermawan ini gigih mempertahankan prinsip egaliter Islam. Penafsirannya mengenai "Ayat Kanz" (tentang pemusatan kekayaan), dalam surat Attaubah, menimbulkan pertentangan pada masa pemerintahan Usman, khalifah ketiga.
"Mereka yang suka sekali menumpuk emas dan perak dan tidak memanfaatkannya di jalan Allah, beritahukan mereka bahwa hukuman yang sangat mengerikan akan mereka terima. Pada hari itu, kening, samping dan punggung mereka akan dicap dengan emas dan perak yang dibakar sampai merah, panasnya sangat tinggi, dan tertulis: Inilah apa yang telah engkau kumpulkan untuk keuntunganmu. Sekarang rasakan hasil yang telah engkau himpun."
Atas dasar pemahamannya inilah, Abizar menentang keras ide menumpuk harta kekayaan dan menganggapnya sebagai bertentangan dengan semangat Islam. Soal ini, sedikit pun Abizar tak mau kompromi dengan kapitalisme di kalangan kaum Muslimin di Syria yang diperintah Muawiyah, saat itu.
Menurutnya, sebagaimana dikutip dalam buku Tokoh-tokoh Islam yang Diabadikan Alquran, merupakan kewajiban Muslim sejati menyalurkan kelebihan hartanya kepada saudara-saudaranya yang miskin.
Untuk memperkuat pendapatnya itu, Abizar mengutip peristiwa masa Nabi: "Suatu hari, ketika Nabi Besar sedang berjalan bersama-sama Abizar, terlihat pegunungan Ohad.
Nabi berkata kepada Abizar, 'Jika aku mempunyai emas seberat pegunungan yang jauh itu, aku tidak perlu melihatnya dan memilikinya kecuali bila diharuskan membayar utang-utangku. Sisanya akan aku bagi-bagikan kepada hamba Allah'."n her
Pelayan Dhuafa dan Pelurus Penguasa
Semasa hidupnya, Abizar Al Ghifary sangat dikenal sebagai penyayang kaum dhuafa. Kepedulian terhadap golongan fakir ini bahkan menjadi sikap hidup dan kepribadian Abizar. Sudah menjadi kebiasaan penduduk Ghiffar pada masa jahiliyah merampok kafilah yang lewat. Abizar sendiri, ketika belum masuk Islam, kerap kali merampok orang-rang kaya. Namun hasilnya dibagi-bagikan kepada kaum dhuafa. Kebiasaan itu berhenti begitu menyatakan diri masuk agama terakhir ini.
Prinsip hidup sederhana dan peduli terhadap kaum miskin itu tetap ia pegang di tempat barunya, di Syria. Namun di tempat baru ini, ia menyaksikan gubernur Muawiyah hidup bermewah-mewah. Ia malahan memusatkan kekuasaannya dengan bantuan kelas yang mendapat hak istimewa, dan dengan itu mereka telah menumpuk harta secara besar-besaran. Ajaran egaliter Abizar membangkitkan massa melawan penguasa dan kaum borjuis itu. Keteguhan prinsipnya itu membuat Abizar sebagai 'duri dalam daging' bagi penguasa setempat.
Ketika Muawiyah membangun istana hijaunya, Al Khizra, salah satu ahlus shuffah (sahabat Nabi SAW yang tinggal di serambi Masjid Nabawi) ini mengkritik khalifah, "Kalau Anda membangun istana ini dari uang negara, berarti Anda telah menyalahgunakan uang negara. Kalau Anda membangunnya dengan uang Anda sendiri, berarti Anda melakukan 'israf' (pemborosan)." Muawiyah hanya terpesona dan tidak menjawab peringatan itu.
Muawiyah berusaha keras agar Abizar tidak meneruskan ajarannya. Tapi penganjur egaliterisme itu tetap pada prinsipnya. Muawiyah kemudian mengatur sebuah diskusi antara Abizar dan ahli-ahli agama. Sayang, pendapat para ahli itu tidak mempengaruhinya.
Muawiyah melarang rakyat berhubungan atau mendengarkan pengajaran salah satu sahabat yang ikut dalam penaklukan Mesir, pada masa khalifah Umar bin Khattab ini. Kendati demikian, rakyat tetap berduyun-duyun meminta nasihatnya. Akhirnya Muawiyah mengadu kepada khalifah Usman. Ia mengatakan bahwa Abizar mengajarkan kebencian kelas di Syria, hal yang dianggapnya dapat membawa akibat yang serius.
Keberanian dan ketegasan sikap Abizar ini mengilhami tokoh-tokoh besar selanjutnya, seperti Hasan Basri, Ahmad bin Hanbal, Ibnu Taimiyah, dan lainnya. Karena itulah, tak berlebihan jika sahabat Ali Ra, pernah berkata: "Saat ini, tidak ada satu orang pun di dunia, kecuali Abuzar, yang tidak takut kepada semburan tuduhan yang diucapkan oleh penjahat agama, bahkan saya sendiri pun bukan yang terkecuali."

Syekh Muhammad Dalil bin Muhammad Fatawi

Muhammad Dalil bin Muhammad Fatawi, Syeikh (gelar Syeikh Bayang, 1864 – 1923) adalah seorang ulama asal Pesisir Selatan pada pertengahan abad 19. Ia pemimpin delegasi ulama tua (tradisional) moderat bersanding dengan pimpinan ulama tua radikal Syeikh Khatib Ali Al-Padani, bermitra dialog dengan pimpinan ulama muda (modernis) yang radikal Syeikh Dr. Haji Abdul Karim Amrullah dan yang moderat Syeikh Dr. Abdullah Ahmad, dalam rapat besar 1000 ulama di Padang, 15 Juli 1919. Ia Penulis buku best seller yang disebut BJO Schrieke dengan kepustakaan pejuang abad ke-20 yang penul moral yakni Taraghub ila Rahmatillah (1910).

Digelari Syeikh Bayang, karena ia salah seorang di antara ulama tua, pemimpin paham tarekat naqsyabandi di Padang, lahir di Bayang (Pancungtaba), amat tinggi ilmunya di bidang Islam, banyak menulis buku fiqh dan tarekat, luas pengalaman serta moderat, menawarkan corak pikiran ikhtilaf (berbeda pendapat) di interenal umat Islam, ittifaq (bersatu) di eksternal umat Islam sebagai strategi menghadapi penjajah. Ulama yang lahir di Bayang secara historis, tidak saja membuat Bayang menjadi sentra pendidikan Islam, tetapi pernah mengakses Bayang sebagai pusat pengembangan Islam di Pantai Barat Sumatera sekaligus pusat konsentrasi gerakan perlawanan rakyat di Sumatera Barat melawan penjajah dengan spirit Islam, berbasis di Surau Syeikh Buyung Muda (murid Syeikh Abdul Rauf Singkel) di Puluikpuluik, Bayang (1666) di samping surau 5 temannya yakni Syeikh Burhanuddin di Ulakan, Surau Baru Syeikh Muhammad Nasir di Padang, Surau Syeikh Sungayang di Solok, surau Syeikh Padang Ganting dan surau Lubuk Ipuh (TBKW, 1914:249).

Ayah Syeikh Bayang juga seorang ulama besar bernama Syeikh Muhammad Fatawi, guru dari banyak ulama di Sumatera Barat. Sedangkan ibunya juga dari keluarga alim di Pancungtaba, yang namanya tidak dapat dikenal lagi. Meski ia ditinggalkan ibu dan bapak ketika masih kecil, namun ia tidak mematahkan semangatnya untuk belajar. Ia terus belajar dengan murid ayahnya Syiekh Muhammad Jamil (tamatan Makah, 1876) saudara tua dari Syeikh Muhammad Shamad (wafat di Mekah 1876). Kemudian ketika berumur 15 tahun, ia melintasi bukit barisan dari kampungnya Pancungtaba (Bayang) sampai di Alahan Panjang – Solok, di sana belajar agama dengan Syeikh Muhammad Shalih bin Muhammad Saman, penulis buku fiqh Al-Kasyf. Karena pintar ia digelar gurunya dengan Tuanku Bayang. Setelah itu Tuanku belajar fiqh dan tarekat pula dengan Syeikh Mahmud di Pinti Kayu, Solok.

Untuk memperdalam ilmu Islam lebih lanjut, Muhammad Dalil terus berkelana ke bekas Kerajaan Alam Surambi Sungai Pagu Minangkabau dan di sana memperdalam tarekat dengan seorang Syeikh bernama Syeikh Musthafa. Hal yang suprise ia tidak saja menjadi murid kesayangan (shuhbat al-ustadz), bahkan isteri gurunya itu bernama Nenek Ayang (Siti Jalasah) kecantol dengan pemuda alim tampan ini dan meminangnya untuk dijadikan pasangan anak gadisnya bernama Siti Rahmah. Setelah menikah dengan Siti Rahmah Muhammad Dalil hijrah ke Padang tahun 1891. Di Padang ia membuka pusat pengajian halaqah di Rumah Asal (rumah gadang milik kaum isterinya kepenakan Syeikh Gapuak, pendiri Masjid Ganting, Padang) sekaligus membina masjid tertua di Padang itu. Banyak murid berdatang ke halaqahnya berasal dari berbagai penjuru di dalam/ luar provinsi Sumatera Barat. Di samping membuka halaqah ia aktif berdakwah dan termasuk da’i kondang, disukai jema’ah bahkan dihormati pembesar Belanda di Padang ketika itu.

Era Syeikh Bayang ini merupakan gelombang ketiga supremasi pengembangan Islam di Sumatera Barat. Gelombang pertama pengembangan Islam generasi Burhanuddin Al-Kamil (1200) dan Burhanuddin Panglima Islam di Painan kemudian ke Ulakan (1523) dan Syeikh Buyung Muda (1666) Puluikpuluik angkatan Syeikh Burhanuddin Ulakan (1666) dilanjutkan generasi Tuanku Nan Tuo pasca Padri (1837). Gelombang kedua berawalnya pembaharuan pemikiran Islam adalah era Syeikh Ahmad Chatib Al-Minangkabawiy (yang tadinya dikirim belajar ke Mekah, pergi bersama ayahnya yang Khatib Nagari itu naik hajji tahun 1871) diteruskan dengan era gerakan murid-muridnya. Gerakan pembaharuan dilanjutkan murid Syeikh Ahmad Chatib yang terkemuka di kalangan ulama tua (tradisional) dikenal dua serangkai Syeikh Chatib Ali (Padang) dan Syeikh Muhammad Dalil bin Muhammad Fatawi sendiri (Bayang, Pesisir selatan), di kalangan ulama kaum muda (modernis) dikenal empat serangkai yakni Syeikh Dr. H.Abdul Karim Amrullah dari Mninjau, Syeikh Muhammad Jamil Jambek di Bukittinggi, Syeikh Muhammad Thaib Umar di Sungyang dan Syeikh Dr.H. Abdullah Ahmad di Padang. Empat ulama modernis ini merupakan ulama penyambung mata rantai perjuangan pembaharuan Islam di Minangkabau sejak awal abad ke-20. Gerakan pembaharuan pemikiran Islam murid Syeikh Ahmad Chatib di Minangkabau semakin mengambil bentuk awal abad ke-20. Diwarnai dengan taktik politik adu domba Belanda yang menghembuskan angin pertentangan kepada dua golongan Islam sama-sama murid dari Syeikh Ahmad Chatib yakni Kaum Muda (Modernis) dipimpin DR. H. Abdul Karim Amarullah yang radikal serta kawan-kawannya empat serangkai yang moderat dan Kaum Tua (Tradisional) dipimpin Syeikh Chatib Muhammad Ali Al-Fadaniy yang radikal dan Syeikh Bayang (Syeikh Muhammad Dalil bin Muhammad Fatawi) yang moderat. Pertentangan kaum muda dan kaum tua itu disusupi PR kepada dalam 40 masalah khilafiyah, ditengahi rapat 1000 ulama yang sangat a lot di Padang, 15 Juli 1919 dipimpin BJO Schrieke bekas ketua pengajaran di HIS. Syeikh Bayang terlibat lansung dalam rapat besar 1000 ulama itu sebagai pemimpin ulama tua yang moderat dan penuh moral (BJO Schrieke, 1973:72) didukung Syeikh Chati Ali pimpinan ulama tua yang radikal, berhadapan dengan ulama muda dipimpin Dr. Hajji Abdul Karim Amrullah (radikal) dan Dr. Abdullah Ahmad (moderat). Di antara ulama tua moderat pengikut Syeikh Bayang ialah Syeikh Muhammad Thaib (Seberang Padang), Syeikh Abdullah (Belakang Tangsi Padang), Syeikh Muhammad Qasyim (Ulak Karang Padang asal Raorao Batusangkar), Syeikh Abdullah Basyir (orang keramat Berok Padang), Syeikh Harun bin Abdul Ghani (Toboh Pariaman), Syeikh Sulaiman Arrasuli (Candung), Syeikh Abdurrahman (kakek H. Ilyas Ya’kub) serta sejumlah ulama Lubuk Aur yakni Ahmad Dores, Fakih Rumpunan, Fakih Mas`ud, Khatib Dzikir, Penghulu Raja Muda, Imam Machudum, Manjang, Saitik, Sarnedi, Silapau, Syamsiah, Dunanenjung dan diperkuat Syeikh Batangkapas, Syeikh Ismail (Palangai, Balaiselasa) dll.
Pasca rapat besar 1000 ulama itu, semangat pembaharuan semakin menggelorakan semangat ulama-ulama kaum muda yang sudah sejak awal menghirup angin pembaharuan dihembuskan majalah Al-Manar Rasyid Ridha dan ‘Urwat Al-Wusqa disambut Al-Imam Taher Jalaluddin di Singapura (saudara sepupu Ahmad Chatib) dan Al-Manar serta Al-Munir Al-Manar Dr. HAKA (ayah HAMKA) dan Dr. Abdullah Ahmad di Padang dan Padang Panjang. Kaum muda pembaharu ini mendapat pujian besar, terus melanjutkan pengaderan (pendidikan kader) terhadap generasi pembaharu, sentranya antara lain di Thawalib Padang Panjang, Parabek, Sungayang dan Padang Japang di samping juga menulis buku dan menerbitkan pers Islam seperti jenis Bulletin, Jurnal, koran dan Majalah. Demikian pula kaum tua (tradisional) giat menyusun kekuatan dan penulisan buku polemik dan apologetik pembelaan paham tarekat yang dianut.

Syeikh Bayang sendiri sejak awal melahirkan beberapa buku polemik dan disetak berudlang-ulang di antaranya, Taragub ila Rahmatillah (cet. ke-11 1916) merupakan buku best seller dan disebut sebagai kepustakaan pejuang abad ke-20 yang penuh moral, Majmu wa Musta’mal (fiqh dagmatik), Miftahul Haq (fiqh) dan Dar Al-Mau`izhah (1326 H) disebut nazam apologetik pembela tarekat naqsyabandi, Thalab Al-Shalah (1916) syair nasehat, Inilah Soal – Jawab bagi Segala Anak buku pertanyaan popular mengenai figh dan dogmatik (cet. ke-3 1335 H), Rasul-25 (1918) dll. Syeikh Bayang wafat 2 jumadil awal 1342 H (1923), ulama pejuang pendidikan Islam ini, ironisnya banyak dicatat dalam sejarah kolonial dan nyaris tidak dikenal lagi dalam sejarah dan historiograpi domestik. Saksi yang ditinggalkan menjadi saksi bisu Masjid Raya Ganting Padang dan di arah mihrabnya tidak jauh dari rumah anaknya Aisyah terdapat makam ulama ini dengan mejan Turki yang indah. Allah swt menganugerahi anak 20 orang putra putri, yakni 10 dari pihak isterinya Siti Rahmah, di antaranya: Khaidir, Saida, Hajjah, Hafsah, syafi’i, Abu Bakar, Aisyah dan tiga orang lagi tidak dikenal karena telah lama meningal dunia, serta 10 anak dari pihak istrinya Siti Nuar’aini, di antranya Wahid, Syawijah, Amin, Nurdiyah, Syamsudin, Rusyd, Muhammad Saad, Nurjani, dan dua orang anak laki-laki tidak dikenal, karena meningal sejak kecil.*

Muammar al-Qaddafi

Muammar Abu Minyar al-Qaddafi lahir di Surt, Tripolitania, 7 Juni 1942 – meninggal di Sirte, 20 Oktober 2011 pada umur 69 tahun[1]) 1 — atau Gaddafi — (bahasa Arab: معمر القذافي Mu`ammar al-Qadhdhāfī) adalah penguasa otokratis de facto Libya dari 1969 sampai 2011, setelah merebut kekuasaan dalam kudeta militer. Sebagai hasil dari perang saudara Libya terbentuklah Dewan Transisi Nasional (NTC). Kekuasaan Gaddafi semakin tergerus dengan pengakuan domestik dan internasional terhadap NTC. Dia menghapuskan Konstitusi Libya tahun 1951 dan menerapkan undang-undang berdasarkan ideologi politiknya. Kekuasaan yang hampir 42 tahun telah menempatkannya menjadi penguasa terlama sebagai pemimpin non-kerajaan keempat sejak tahun 1900 dan terlama sebagai pemimpin penguasa Arab. Dia menyebut dirinya sebagai 'the Brother Leader', 'Guide of the Revolution', dan 'King of Kings (Raja segala raja).
Setelah berhasil merebut kekuasaan, Gaddafi mulai menghilangkan oposisi dan kehidupan warga Libya menjadi dibatasi. Ideologi Gaddafi disebut Teori Internasional Ketiga yang dijelaskan dalam Buku Hijau. Keluarga Gaddafi mengambil alih sebagian besar perekonomian Libya. Gaddafi menggunakan miliaran pendapatan minyak untuk proyek-proyek internasional. Dia memulai perang dengan memerintahkan orang lain dan menggunakan senjata nuklir dan bahan kimia sebagai senjata pemusnah massal. Diam-diam, ia mengalokasikan pendapatan negara untuk mensponsori teror dan kegiatan politik lainnya di seluruh dunia. Perserikatan Bangsa-bangsa menyebut Libya di bawah Gaddafi sebagai Negara Paria.
Enam hari setelah penangkapan diktator Irak Saddam Hussein oleh Amerika Serikat, Gaddafi meninggalkan senjata pemusnah massal (WMD) program dan inspektur internasional menyambut untuk memverifikasi bahwa Tripoli akan menindaklanjuti komitmennya. Semenjak itu, Libya sebagai model bagi negara-negara lain yang diduga mengembangkan WMD sebagai kewajiban ketidakpatuhan internasional mereka untuk diikuti. Pada 15 Mei 2006, Menteri Luar Negeri Amerika Serikat Condoleezza Rice mengumumkan pemulihan hubungan diplomatik penuh dengan Libya, "sebagai pengakuan atas komitmen atas Libya penolakan terhadap aksi terorisme dan kerjasama baik Libya yang diberikan kepada Amerika Serikat dan anggota lain dari masyarakat internasional dalam menanggapi ancaman global yang dihadapi dunia sejak serangan 11 September 2001".
Dalam bangunan kebangkitan dunia Arab bulan Februari 2011, sebuah gerakan demonstrasi menentang Gaddafi menyebar di seluruh negeri. Gaddafi menanggapi dengan mengirimkan militer dan pria bersenjata berpakaian preman di jalan-jalan untuk menyerang demonstran, namun banyak pihak diaktifkan. Gaddafi meninggalkan perang saudara. Pada 23 Agustus 2011, Gaddafi kehilangan kendali Tripoli ketika para pemberontak menangkap loyalisnya di Bab Al-Azizia. Pasukan loyalis Gaddafi berperang di lokasi yang terbatas.
Dia menghadapi penuntutan oleh Pengadilan Pidana Internasional yang telah mengeluarkan surat perintah penangkapan atas kejahatan terhadap kemanusiaan. Miliaran dolar asetnya telah dibekukan di seluruh dunia.
Pada tanggal 20 Oktober 2011, media melaporkan bahwa seorang pejabat Dewan Transisi Nasional/NTC telah mengatakan kepada Al Jazeera bahwa Gaddafi telah ditangkap di kota kelahirannya, Sirte, pada pagi 20 Oktober 2011. Menurut Pejabat tersebut, Gaddafi dilaporkan meninggal karena terluka parah pada kedua kaki dan kepalanya[2][3]. Mayat Khadafy dan putranya, Mutassim, serta mantan Menteri Pertahanan Abu Bakar Younis sempat dipertontonkan kepada publik di sebuah ruang pendingin daging di pasar di Kota Misrata, sebelum dimakamkan di sebuah tempat rahasia di gurun. [4]

Khadafi menikah dengan:
Dia juga dikatakan telah mengadopsi dua anak, yaitu:
Khadafi juga mempunyai saham sebesar 7,5% di klub sepak bola Italia, Juventus.